kisah ROKER dan KRL

Yang tinggal di JABODETABEK, Penah naik KRL atau commuter?

Pastinya tau, kalau KRL ini adalah salah satu moda transportasi yang lagi hits banget sekarang. Sampai ada sebutan buat mereka yang naik kereta dengan sebutan ROKER, alias rombongan kereta.

KRL, courtesy fr okezone

Sejak July 2013 (menurut mbah wiki) sistem perjalanan KRL sudah diperbaharui semua, jadi modern banget. Mulai dari tiketnya yang di gantikan dengan automatic payment card dari bank-bank swasta atau milik KAI sendiri yang dinamain commet, peremajaan 80 stasiun sampai kedatangan gerbong-gerbong hibah dari Jepang tapi di percantik dengan ini itunya termasuk grafis yang dipakai di dalam kereta. Biaya untuk menggunakan transporatasi ini juga murah banget, cuman 2000 rupiah per 5 stasiun terus tambah 500 rupiah per 3 stasiun. Jadi kalau saya naik dari stasiun Rawa buntu sampai stasiun tanah abang cuma 2500 rupiah aja. Usut punya usut, sejak Juni 2014 ini, KRL punya 6 rute dengan 645 trip seharinya. UWOW! Untuk pencapaian ini, saya pribadi mengucap salut untuk kementrian transportasi dan pastinya dirut KAI.

KAI_Commuter_Jabodetabek_Map

Dengan adanya KRL, masyarakat yang tinggal jauh dari tempatnya beraktifitas sangat tertolong karena sangat nggak mungkin deh naik kendaraan pribadi untuk menyelam di macetnya Jakarta yang luar biasa. Apalagi nggak semua orang Indonesia di kota besar bisa sukses punya kendaraan sendiri, jadi dengan adanya KRL sebenarnya membuka banyak kesempatan untuk orang yang tinggal jauh untuk untuk bisa beraktifitas di area lainnya.

However, menurut saya ada sebuah problematika dibalik kesuksesan keberadaan KRL ini. Jumlah pengguna KRL sekarang super banyak tapi belum diimbangi dengan jumlah gerbong, fasilitas dan jadwal yang yang memadai. Saya sangat menyadari bahwa teknologi KRL modern ini baru aja sampai di Indonesia, dan yakin sekali bahwa para pejabat yang berkaitan juga sedang berfikir keras tentang ini.

Dalam post ini, sungguh sungguh saya bukan mau mendiskreditkan KRL di Indonesia, hanya sedikit mereview point yang semoga jadi PR yang selanjutnya di clearkan oleh pihak terkait. 🙂

courtesy of laksometros

Pada peak hour (kecuali tanah abang, every time adalah peak hour), KRL bisa lebih penuh dari keadaan di negara asalnya (Jepang). Soal ini, saya rasa karena rentang durasi antar keretanya terlalu lama, akibatnya orang berebutan masuk ke dalam gerbong dan memaksakan diri apapun caranya, yang penting bisa cepat sampai tujuan. Kasihan sekali dengan orang-orang yang mempunyai tubuh tidak tinggi, karena ini bisa bikin mereka passed out kehabisan udara. Apalagi dengan kontur tanah yang tidak rata, dalam saat tertentu, penumpang bisa terjepit penumpang lainnya akibat kemiringan gerbong kereta. to be honest, i am worry dengan safety standartnya KRL..
Tapi kalau nggak peak HOUR, naik kereta itu super PW, enak banget menikmati pemandangan lingkungan Jakarta, liat awan, liat langit (mungkin ada beberapa yang masih kumuh, tapi itu bisa jadi refleksi diri kita supaya selalu bersyukur, ya kan?).

The saddest thing about sebagian ROKER adalah, masih ada aja penumpang yang kurang sensitif dengan keberadaan ibu hamil, padahal ada di gerbong wanita. Sedih rasanya menyadari bahwa harga toleransi masih sangat mahal. Yang ini revolusi mental ya.. panjaaangggg deh kisah ini jadinya.

Tapi anyway, mari kembalikan ke positive mind set kita, hihi..
Seneng ya ada KRL, saya bangga loh, apalagi baru baru ini saya naik KRL rute DURI – BOGOR terus masinisnya kasih info perjalanan in English.. Gerbong kereta BOGOR – KOTA juga cantik sekali, semoga ROKER2 di rute itu bisa jaga kondisinya. Kemajuan sangat loh ini, semoga semua rute bisa ikut juga, jadi KRL bisa ikut di promosiin untuk traveler kaliber dunia juga.

Leave a comment